Gambut merupakan jenis lahan basah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti daun, ranting, akar, dan sisa tumbuhan lainnya yang mengalami dekomposisi tidak sempurna. Proses dekomposisi ini berlangsung dalam kondisi jenuh air dan minim oksigen, sehingga memperlambat pembusukan bahan organik. Meskipun hanya mencakup sekitar 3% dari total luas daratan dunia, lahan gambut menyimpan sekitar 30% cadangan karbon tanah global, berfungsi sebagai spons alami yang menyerap dan menyimpan air, serta memiliki peran penting dalam pengaturan iklim(1, 3).
Sebagian besar lahan gambut telah dikonversi menjadi perkebunan, khususnya untuk kelapa sawit dan tanaman industri lainnya. Konversi lahan ini mengurangi luas lahan gambut yang utuh dan menurunkan kapasitasnya dalam menyimpan karbon. Pengeringan lahan gambut untuk keperluan pertanian menyebabkan pelepasan karbon yang tersimpan dalam bentuk gas karbon dioksida (CO₂), sehingga memperburuk perubahan iklim. Selain itu, pengeringan bersifat permanen karena lahan gambut yang telah kering tidak dapat kembali menyerap air seperti semula. Gambut kering juga sangat rentan terhadap kebakaran, yang tidak hanya menghasilkan asap berbahaya tetapi juga melepaskan karbon dalam jumlah besar. Kebakaran ini sulit dipadamkan karena api merambat di bawah permukaan tanah(2,4).
Indonesia memiliki sekitar 13,4 juta hektare lahan gambut yang tersebar di pulau-pulau utama, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sebagai salah satu negara dengan cadangan karbon tropis terbesar di dunia, Indonesia memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global(1). Namun, ekosistem gambut Indonesia menghadapi ancaman serius akibat aktivitas manusia, seperti konversi lahan, pengeringan, kebakaran, dan penurunan muka tanah (subsiden). Perubahan signifikan terjadi di tiga provinsi utama, yaitu Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatra Selatan(3).
Kalimantan Tengah, salah satu provinsi dengan lahan gambut terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan gambut. Kerusakan lahan gambut di provinsi ini sebagian besar disebabkan oleh pelaksanaan Mega Rice Project pada 1990-an yang melibatkan pembuatan kanal besar-besaran untuk pembukaan lahan persawahan. Program ini menyebabkan degradasi lahan, perubahan pola aliran air, serta peningkatan risiko kebakaran. Permasalahan tersebut semakin diperburuk oleh kurangnya pemahaman masyarakat lokal terhadap pentingnya ekosistem gambut sebagai penyimpan karbon yang vital(3). Di Sumatra, sebagian besar lahan gambut terdapat di Provinsi Riau (sekitar 3,5 juta hektare) dan Sumatra Selatan (sekitar 1 juta hektare). Lahan gambut di kedua provinsi ini mengalami degradasi akibat konversi menjadi perkebunan.
Konversi lahan biasanya melibatkan pengeringan melalui pembangunan kanal, yang menyebabkan gambut lebih mudah terbakar, terutama pada musim kemarau. Proses ini juga merusak ekosistem dan mengancam keanekaragaman hayati, karena menghancurkan habitat alami yang menjadi tempat hidup spesies endemik
Secara keseluruhan, tantangan pengelolaan gambut di tiga provinsi utama (Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatra Selatan) mencakup aspek penelitian, kebijakan, penanganan bencana, dan ketersediaan data dasar. Penelitian mengenai ekosistem gambut, baik dari sisi biofisik maupun sosial, masih bersifat terfragmentasi, sehingga sulit untuk mengintegrasikan pemahaman ekosistem dengan dinamika sosial masyarakat. Akibatnya, solusi yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Dari sisi kebijakan, meskipun terdapat regulasi perlindungan gambut di tingkat nasional, pelaksanaannya sering terkendala oleh benturan kepentingan ekonomi, seperti pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di tingkat daerah, kapasitas kelembagaan yang terbatas menghambat implementasi kebijakan tersebut(5).
Dalam hal penanganan bencana, kebakaran gambut tetap menjadi ancaman tahunan yang belum tertangani secara optimal. Infrastruktur mitigasi, seperti sekat kanal dan teknologi pemantauan kebakaran, masih terbatas, sehingga risiko kebakaran terus meningkat, terutama pada lahan gambut yang telah dikeringkan. Selain itu, ketersediaan data dasar yang akurat, termasuk informasi mengenai kedalaman gambut, tingkat degradasi, dan kondisi tata air, menjadi hambatan dalam perencanaan pemulihan yang terintegrasi. Ketidakkonsistenan data antarstudi dan antarwilayah juga menyulitkan penyusunan strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan(3,4).
Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam pengelolaan ekosistem gambut, sebuah inisiatif strategis dibuat dengan mendirikan pusat studi komprehensif bernama TROPICA. Pusat studi ini dirancang sebagai center of excellence yang memfokuskan kegiatan pada penelitian, pengembangan, dan inovasi terkait ekosistem gambut. Berbasis di tiga provinsi dengan tingkat kerusakan gambut tertinggi meliputi Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatra Utara. TROPICA bertujuan untuk menjadi pusat kolaborasi lintas sektor.
Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari sektor publik, swasta, akademisi, dan masyarakat, TROPICA akan berkomitmen mendorong pemulihan ekosistem gambut dan pengelolaannya secara berkelanjutan melalui pendekatan terpadu yang berbasis ilmiah.
Visi
Menjadi pusat unggulan terdepan untuk penelitian lahan gambut tropis Indonesia, guna meningkatkan jasa ekosistem, konservasi keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim, serta memberikan kontribusi terhadap kebijakan pengelolaan berkelanjutan yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Misi
Komplek Palapa, Jalan Palapa 2 No.4 , RT.11/RW.5,
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan 12520
t & f: (021) 22708103
© 2025 Pusat Kajian Gambut Tropis Indonesia. All Rights Reserved